UNTUK DAERAH LAIN


حزب التحرير

Friday, February 29, 2008

Memahami Ijtihad Umar

Latar Belakang

Tahun 1988 umat Islam Indonesia digemparkan dengan proyek “reaktualisasi Islam” Munawir Syadzali yang ingin mengubah perbandingan waris anak lelaki dan perempuan. Menurut Syadzali, karena perubahan situasi dan kondisi, ketentuan waris 2:1 harus direaktualisasikan menjadi 1:1. Alasan Syadzali, hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat karena Umar bin al-Khaththab pun, katanya, pernah mengubah hukum Islam. Umar, katanya, tidak membagi tanah rampasan perang di Irak, padahal seharusnya dibagikan sesuai pesan QS al-Anfal ayat 41 (Husnan, 1988: 103). Belakangan, argumen lapuk seperti itu dimunculkan kembali oleh kalangan liberal. Kautsar Azhari Noer dalam wawancara di situs www.islamlib.com menyebut-nyebut ijtihad Umar bin al-Khaththab sebagai landasan buku Fiqih Lintas Agama (2004). Padahal buku yang dibiayai oleh The Asia Foundation (yayasan Amerika) ini amat sarat dengan masalah, misalnya menghalalkan pernikahan wanita Muslimah dengan lelaki kafir, yang sebenarnya diharamkan Islam. Karena itu, buku itu sebenarnya lebih layak diberi judul Fiqih Lindas Agama, yakni gagasan fikih yang justru menghancurkan agama. Sebenarnya, kaum liberal hanya memperalat ijtihad Umar bin al-Khaththab untuk menjustifikasi metode berpikir mereka. Kaum liberal mempunyai metode berpikir sebagaimana definisi modernisme (pembaruan) itu sendiri. Menurut Busthami M. Said, mengutip Encyclopedia of Religion, modernisme adalah suatu visi (pandangan) atau upaya bahwa ajaran agama harus dipahami mengikuti pengetahuan Barat modern (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn,1995).




Dari sini, berarti ada pemikiran yang tetap dan yang berubah. Yang tetap dan dijadikan tolok ukur adalah pengetahuan Barat modern dengan paradigma sekularisme, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Sebaliknya, yang berubah dan harus mengikuti yang tetap itu adalah segala ajaran dan hukum agama, termasuk agama Islam. Jadi, agama Islam harus patuh dan tunduk mengikuti peradaban Barat yang kufur. Itulah metode berpikir kaum liberal yang sekular. Nah, kaum liberal lalu mencari-cari justifikasi dari khazanah fikih Islam untuk melakukan perubahan hukum-hukum Islam. Mereka lalu ‘mendapatkannya’, antara lain dalam beberapa ijtihad Umar. Kemudian ijtihad Umar ini dijadikan landasan untuk mengubah beberapa hukum Islam, seperti masalah pembagian waris di atas.




Fakta Ijtihad Umar

Beberapa intelektual dan ulama telah membahas atau menyinggung ijtihad-ijtihad Umar bin al-Khaththab. Subhi Mahmashani (1981), misalnya, membahasnya dalam pasal “Perubahan Hukum (Taghayyur al-Ahkâm)”, dalam bukunya, Falsafah at-Tasyrî‘’ fî al-Islâm. Yusuf al-Qaradhawi membahasnya dalam salah satu bab kitabnya, ‘Awâmil as-Sa‘âh wa al-Murûnah fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (1985). Bahi al-Khuli menulis artikel, “Min Fiqh ‘Umar fî al-Iqtishâd wa al-Mâl,” yang ditulisnya di majalah Al-Muslimûn, terbitan Damaskus, No. 4, tahun 1373 H. Dalam majalah Al-Muslimûn pula, edisi no. 6, 1373 H, Ma‘ruf ad-Duwalibi menulis artikel, “An-Nushûsh wa Taghayyur al-Ahkâm,” dengan mengutip ijtihad Umar. Lalu Quthub Ibrahim Muhammad menulis kitab khusus tentang kebijakan ekonomi Umar dalam As-Siyâsah al-Mâliyah li ‘Umar ibn al-Khaththab. Muhammad al-Baltaji bahkan secara khusus menulis satu kitab khusus tentang ijtihad Umar dalam kitabnya, Manhaj ‘Umar ibn al-Khaththab fî at-Tasyrî‘.




Menurut Bustami M. Said (1995), ijtihad Umar yang paling masyhur yang disebut-sebut sebagai dalil perubahan hukum Islam karena keadaan ada (2) dua poin, yaitu: Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada ketentuannya dalam al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60). Ma‘ruf ad-Duwalibi mengatakan, “Ini mau dikatakan apa jika tidak dikatakan menghilangkan hukum al-Quran, ketika Umar yakin bahwa kondisi yang berubah telah membolehkannya? Akan tetapi, apakah ulama dan penulis kita berani menghadapi hakikat yang jelas ini?” (Said, 1995: 306).




Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah/ al-majâ‘ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Quran (QS al-Maidah [5]: 38). Menurut Ma‘ruf ad-Duwalibi, peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan hukum pencurian yang telah ditetapkan al-Quran, disebabkan oleh perubahan kondisi yang menyebabkan timbulnya pencurian (Said, 1995: 307). Betulkah Umar mengubah hukum Islam karena tuntutan keadaan, sebagaimana pernyataan Ma’ruf ad-Duwalibi? Sebenarnya tidak. Dalam masalah zakat bagi muallaf, persoalannya bukanlah Umar itu melanggar atau meninggalkan nash al-Quran (QS 9: 60), tetapi karena sesungguhnya muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yang telah dikenal sifat-sifatnya. Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu ada atau tatkala sifat-sifat golongan itu ada. Sebaliknya, jika golongan itu tidak ada atau hilang sifat-sifatnya, zakat tidaklah diberikan (Said, 1995: 306; al-Qaradhawi, 1993: 572).




Apabila pada suatu zaman tidak ada satu golongan penerima zakat, katakanlah golongan budak (fi ar-riqâb), kita tidak memberikan zakat. Ini bukan menghapus (me-naskh) atau mengubah hukum zakat, tetapi menghentikan sementara pemberian zakat untuk golongan tertentu sampai golongan itu muncul kembali. Demikian pula andaikata pada suatu zaman tidak dijumpai lagi orang miskin, zakat tidak diberikan. Namun, ketika sifat miskin itu datang pada segolongan orang, barulah mereka akan diberi zakat. Para ulama ushul fikih menjelaskan, pengaitan suatu hukum dengan suatu sifat dari kata musytaq (ada asal katanya), menunjukkan adanya ‘illat (sebab penetapan hukum) yang melekat pada sifat tersebut. Dalam hal ini, kata mua‘llafah qulûbuhum (QS 9: 60) merupakan kata musytaq yang menunjukkan suatu sifat yang melekat pada sekelompok orang, yaitu ta‘lîf al-qulûb (pembujukan hati). Artinya, jika ‘illat itu ada—yakni ta‘lîf al-qulûb—mereka harus diberi, tetapi jika ‘illat itu tidak ada, mereka tidak diberi (Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, 1993: 571). Hal ini, kata Taqiyudin an-Nabhani, tidak berbeda dengan pemberian zakat kepada golongan fakir, miskin, dan amil (petugas zakat). Mereka diberi zakat jika ada ‘illat pemberian zakat, yaitu pada diri mereka ada sifat kefakiran, kemiskinan, dan kegiatan mengumpulkan zakat (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, III/346).




Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (1983: 193) menegaskan bahwa ‘illat pemberian zakat untuk muallaf pada zaman Abu Bakar dan Umar telah lenyap, seiring dengan telah kuatnya dan tersebarnya Islam. Berbeda halnya dengan masa Rasulullah saw. ketika jumlah kaum Muslim masih sedikit dan musuh mereka berjumlah banyak (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 1996, II/871) . Atas dasar itu, tidak benar pernyataan Subhi Mahmashani dalam Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm (hlm. 178), bahwa dalam masalah zakat bagi muallaf ini Umar telah tidak segan-segan bertindak walaupun bertentangan dengan nash sekalipun. Ucapan ini jelas hanya fitnah kepada Khalifah Umar—semoga Allah meridhainya—karena mustahil Umar menentang atau mengubah hukum Kitabullah secara sengaja. Pernyataan Mahmashani, ad-Duwalibi, dan yang semisal mereka sebenarnya hanyalah justifikasi palsu untuk melakukan perubahan hukum Islam agar Islam tunduk pada sistem kehidupan sekular saat ini. Demikian pula dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah). Para ulama telah menjelaskan bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari Hadis Nabi saw. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-’Uqûbat halaman 68 menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi musibah kelaparan, sebagaimana diriwayatkan dari Makhul ra., bahwa Nabi saw. bersabda: Lâ qath‘a fî majâ‘ah mudhthar. (Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa) (Al-Maliki, 1990: 68). Jadi, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsîs) dari ketentuan umum potong tangan (QS 5: 38).




Dalam kitabnya, I‘lâmu al-Muwaqqi‘în III/14, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, bahwa tindakan Umar itu didorong oleh adanya syubhat (ketidakjelasan) yang kuat, yang menyebabkan penolakan hukum potong tangan atas pelakunya yang sangat membutuhkan makanan (Said, 1995). Menolak pelaksanaan hukuman karena syubhat merupakan perkara yang disyariatkan, sebagaimana sabda Nabi saw.: “Idrâ‘ al-hudûd bi asy-syubuhât. (Tolaklah hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat) (Lihat: Imam Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, VII/118). Hadis itu pula yang mendasari suatu kaidah fikih terkenal, “Al-Hudûd yasquthu bi asy-syubuhât.” (Sanksi hudûd digugurkan karena adanya syubhat-syubhat) (Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir, hlm. 84). Hal yang sama dapat dikatakan pula dalam masalah tanah rampasan perang di Irak yang tidak dibagikan Umar. Hal itu bukan karena Umar menentang atau me-naskh QS al-Anfal ayat 41, melainkan karena Umar menemukan dalil lain yang lebih kuat, yaitu dalam QS al-Hasyr ayat 6-10 (An-Nabhani, 1953: 211). Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa urusan tanah rampasan perang, adalah kewenangan Khalifah (Imam) yang berhak dia perlakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan dalam batas-batas syariah. Khalifah boleh memilih antara membagi atau tidak membagi. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri dari al-Quran dan al-Hadits (Ali As-Sayis, 1996: 91-92).




Kesimpulan

Dari uraian di atas, sebenarnya jelas bahwa Umar tidak pernah mengubah hukum Islam dalam arti me-naskh-nya, ataupun mengubahnya karena faktor waktu, tempat, situasi, kondisi, kemaslahatan, atau apa pun. Itu hanyalah fantasi intelektual kaum liberal. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [KH M.Siddiq al Jawie]



Daftar Pustaka

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizhâm al-‘Uqûbât. Beirut: Darul Bayariq

Al-Qaradhawi, Yusuf. 1993. Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam (‘Awâmîl as-Sâ‘ah wa al-Murûnah fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah). Terjemahan oleh Said Agil Husin Al- Munawwar.

Semarang: Dina Utama Semarang. ———-. 1993. Hukum Zakat (Fiqh al-Zakah). Terjemahan oleh Salman Harun dkk. Cetakan III. Bogor-Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah. Juz II. Al-Quds: Hizbut Tahrir. ———-. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah. Juz III. Al-Quds: Hizbut Tahrir.As-Sayis, M. Ali. 1996. Fiqih Ijtihad: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh). Solo: CV. Pustaka Mantiq.As-Suyuthi, Jalaludin, t.t. Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir fî al-Furû‘. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Usaha Keluarga. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Juz II. Damaskus: Darul Fikr.Husnan, Ahmad. 1988. Hukum Islam Tidak Mengenal Reaktualisasi. Solo: CV. Pustaka Mantiq.Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî Al-Islam). Terjemahan oleh Ahmad Sudjono. Bandung: PT. Alma’arif.Muhammad, Quthub Ibrahim. 2003. Kebijakan Ekonomi Umar Bi Khaththab (As-Siyâsah al-Mâliyah li ‘Umar ibn al-Khaththâb). Terjemahan oleh Safarudin Saleh. Jakarta: Pustaka Azzam. Said, Busthami Muhammad. 1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîd ad-Dîn). Terjemahan oleh Ibnu Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah.Zallum, Abdul Qadim. 1983. Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Darul Ilmi lil Malayin.

No comments: