UNTUK DAERAH LAIN


حزب التحرير

Wednesday, June 11, 2008

BLT, Cukup untuk Berapa Hari?

Keputusan sudah diketuk. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Inpres 3/2008 Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan akan diberikan selama tujuh bulan antara Juni hingga Desember nanti. Setiap Rumah Tangga Miskin (RTM) akan memperoleh Rp 100 ribu/bulan. Seperti 2005 lalu, BLT kali ini digulirkan untuk membantu warga miskin menanggung biaya hidup akibat kenaikan harga BBM kelak..



Sejak diskursus BLT diapungkan pemerintah, segenap kritik mengemuka. Antara lain soal efektivitas program ini dalam membantu warga miskin, kengototan pemerintah mempertahankan data warga miskin 2005, hingga besaran BLT yang tak memperhitungkan inflasi.



Pemerintah tak mengambil pelajaran dari pelaksanaan BLT selama 2005-2007. Alih-alih mengevaluasi, pemerintah main gampang saja menetapkan misi: BLT berguna lantaran dana yang dibagikan tersebut akan membantu menangkal merangkaknya harga kebutuhan pokok. Ditonjolkan sebuah public relation—kalau bukan "propaganda"—bahwa BLT positif mengerem subsidi BBM. Menurut pemerintah, ketimbang subsidi BBM mengalir ke kalangan tak tepat sasaran, lebih baik diberikan kepada warga miskin.



Tapi, bagaimana mencari pembenaran BLT jika data warga miskin tidak di-update dan besarannya tetap? Di sini pemerintah bermain-main dengan "bola api" yang bisa memantik kekisruhan dalam penyaluran BLT nanti. Pemerintah tak menepis bahwa data warga miskin bertambah, tapi tetap saja data lama yang akan dipakai. Alasannya klise. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan, proses pemutakhiran data tengah dilakukan. Alhasil penyaluran BLT akan menggunakan data lama pada 5.300 kecamatan. Jumlah penerima BLT 19,1 juta keluarga.



Jelas tampak belum mulus sinkronisasi kebijakan di pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Kebijakan komprehensif jauh panggang dari api. Yang ada tambal sulam, parsial, dan menggampangkan persoalan.



Tidakkah pemerintah empati dengan keluarga miskin yang tak menerima BLT gara-gara namanya tak tercatat di kartu miskin yang dikeluarkan PT Pos Indonesia? Dan, bagaimana jika sesama warga miskin saling berebut karena merasa lebih berhak menerima BLT? Sudahkah pemerintah menghitung kembali risiko sosialnya? Lewat catatan ini, kita ingin mengingatkan pemerintah bahwa tahun politik harus diwaspadai lantaran "tensi" rakyat juga mudah menggelegak.



Di atas segalanya cukupkah Rp 100 ribu? Mari berhitung. BPS (2005) menyebutkan, konsumsi beras warga Indonesia sekitar 7,05 kilogram/bulan/kapita. Jika RTM hanya makan sebanyak 1-2 kali sehari, konsumsi berasnya setara 4,7 kilogram/bulan/kapita. Katakanlah beras yang dimakan mereka berkualitas rendah seharga Rp 3.500 per kilogram, dalam sebulan seorang warga miskin harus mengeluarkan Rp 16.450.



Dengan satu istri dan dua anak, RTM paling kurang membelanjakan Rp 65.800 per bulan! Dengan demikian BLT sebesar Rp 100 ribu, hanya cukup memenuhi kebutuhan beras warga miskin selama 20 hari. Sedangkan dana beli beras untuk sepuluh hari sisanya harus ditanggung sendiri oleh RTM bersangkutan. Itu berarti semakin tinggi kualitas beras yang dimakan warga miskin, dana BLT semakin cepat habis.



Itu hanya untuk beras. Bagaimana jika ditambah kebutuhan lain? Konsumsi gula setara 1,25 kg/bulan, minyak goreng 4 kg/bulan, minyak tanah 3,4 liter/bulan/kapita atau rumah tangga sePublish Postbesar 1,3 liter/hari. Hitung sendiri berapa duit yang harus dirogoh si miskin, bahkan seandainya pun konsumsi mereka hanya dua pertiga rerata nasional. Sungguh mencekik leher!

No comments: