Ustadz pembawa makalah memulai dengan membahas bahwa kurban adalah tuntunan yang harus dilaksanakan kaum muslim. Dari beberapa pendapat ulama berdasar Al Qur'an dan riwayat hadits ada yang menyimpulkan menjadi 3, yaitu kurban fardhu 'ain (wajib bagi semua), fardhu kifayah (wajib bagi sebagian) dan sunnah muakkad (sunnah yang diutamakan). Semua mempunyai kekuatan dalil masing-masing walau ulama sepakat kurban sebagai ibadah yang sunnah muakkad bagi yang mampu.
Nah, pada kriteria mampu inilah banyak penfsiran yang belum pahan. Keampuan seseorang berdasarkan apa? Apakah berdasarkan kemampuan membayar zakat mal, kemampuan dalam arti kaya atau semampunya? Kenyataannya banyak yang mampu tetapi tidak menyembelih hewan kurban karena menilai dirinya tidak mampu.
Parameter mampu ini semakin tidak jelas dan menjadi persembunyian kemunafikan seseorang. Seseorang mengaku tidak mampu berkurban padahal dia seorang perokok. Padahal bila dihitung perokok yang membeli rokok sebungkus sehari seharga Rp 5.000,00 - Rp 10.000,00 dalam sebulan membelanjakan untuk rokok sebesar Rp 150.000,00 - Rp 300.000,00, maka dalam setahun anggaran rokok adalah Rp 1.800.000,00 - Rp 3.600.000,00. Panitia kurban di masjid kami menetapkan untuk kurban adalah Rp 850.000,00 seorang. Kalau membeli kambing sendiri ada yangs seharga Rp 600.000,00 - Rp 850.000,00.
Seorang perokok yang mengaku tidak mampu ternyata bila berkurban untuk mengekang tidak menghisab barang yang dihukumi makruh sampai haram tersebut, dalam setahun anggaran tersebut bisa untuk membeli hewan kurban kambing sebanyak 3 - 6 ekor. Berarti seorang perokok adalah mampu berkurban. Bila dia menghentikan merokok lalu anggaran rokok ditabung maka pada saat Idul kurban akan mampu menyembelih hewan kurban.
Kesimpulan itu disepakati walau sempat ada yang bertanya, "Lebih baik merokok dan berkurban atau tidak merokok tapi tidak berkurban?"
Sang ustadz dengan tersenyum menjawan, "Lebih baik tidak merokok dan berkurban."
No comments:
Post a Comment